Click here for Myspace Layouts

Mulailah membaca Artikel-Artikel ini dengan Bismillah

Rabu, 21 Desember 2011

Ada saatnya..


Bismillah..

Hanzhalah Al-Asadi radhiallahu ‘anhu seorang sahabat yang terhitung dalam jajaran juru tulis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertutur:



Suatu ketika, aku berjumpa dengan Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu.

“Ada apa denganmu, wahai Hanzhalah?” tanyanya.

“Hanzhalah ini telah berbuat nifaq,” jawabku.

“Subhanallah, apa yang engkau ucapkan?” tanya Abu Bakr.

“Bila kita berada disisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengingatkan kita tentang neraka dan surga hingga seakan-akan kita bisa melihatnya dengan mata kepala kita. Namun bila kita keluar meninggalkan majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, istri, anak dan harta kita (sawah ladang ataupun pekerjaan, -pent.) menyibukkan kita-kita, hingga kita banyak lupa/lalai,” kataku.

“Demi Allah, kami juga menjumpai yang semisal itu,” Abu Bakr menanggapi perasaan Hanzhalah.

Aku pun pergi bersama Abu Bakar menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga kami dapat masuk ke tempat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Hanzhalah ini telah berbuat nifaq, wahai Rasulullah,” kataku.

“Apa yang engkau katakan? Mengapa engkau bicara seperti itu?” tanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Wahai Rasulullah, bila kami berada disisimu, engkau mengingatkan kami tentang neraka dan surga hingga seakan-akan kami dapat melihatnya dengan mata kepala kami. Namun bila kami keluar meninggalkan majelismu, istri, anak dan harta kami (sawah ladang ataupun pekerjaan, -pent.) melalaikan kami, hingga kami banyak lupa/lalai,” jawabku.

Mendengar penuturan yang demikian itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya kalian tetap berada dalam perasaan sebagaimana yang kalian rasakan ketika berada disisiku dan selalu ingat demikian, niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian diatas tempat tidur kalian dan di jalan-jalan kalian. Akan tetapi wahai Hanzhalah, ada saatnya begini dan ada saatnya begitu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya tiga kali. (HR. Muslim no. 6900, kitab At-Taubah, bab Fadhlu Dawamidz Dzikr wal Fikr fi Umuril Akhirah wal Muraqabah, wa Jawazu Tarki Dzalik fi Ba’dhil Auqat wal Isytighal bid Dunya).

Dalam riwayat lain disebutkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dengan lafadz: “Wahai Hanzhalah, ada saatnya begini, ada saatnya begitu. Seandainya hati-hati kalian senantiasa keadaannya sebagaimana keadaan ketika ingat akan akhirat, niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian, hingga mereka mengucapkan salam kepada kalian di jalan-jalan.” (HR. Muslim no. 6901)

Hanzhalah radhiallahu ‘anhu dengan kemuliaan dirinya sebagai salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah membuatnya merasa aman dari makar Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Bahkan ia merasa khawatir bila ia termasuk orang munafik, karena saat berada di majelis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam rasa khauf (takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan azab-Nya yang pedih) terus menyertainya, dibarengi muraqabah (merasa terus dalam pengawasan Allah Subhanahu wa Ta’ala), berpikir dan menghadapkan diri kepada akhirat. Namun ketika keluar meninggalkan majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia disibukkan dengan istri, anak-anak dan penghidupan dunia. Hanzhalah khawatir hal itu merupakan kemunafikan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengajari Hanzhalah dan para shahabat yang lain bahwa keadaan seperti itu bukanlah kemunafikan. Karena mereka tidaklah dibebani untuk terus menerus harus memikirkan dan menghadapkan diri hanya pada kehidupan akhirat. Ada waktunya begini dan ada waktunya begitu. Ada saatnya memikirkan akhirat dan ada saatnya mengurusi penghidupan di dunia. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 17/70)



Ketika Hanzhalah radhiallahu ‘anhu mengeluhkan perasaan dan keadaan dirinya yang demikian itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bila keadaannya sama dengan keadaannya ketika bersama beliau, merasa hatinya itu lunak dan takut kepada Allah. Terus keadaannya demikian di mana pun ia berada, niscaya para malaikat dengan terang-terangan akan menyalaminya di majelisnya, di atas tempat tidurnya dan di jalan-jalannya.

Namun yang namanya manusia tidaklah bisa demikian. Ada waktunya ia bisa menghadirkan hatinya untuk mengingat akhirat, dan ada saatnya ia lemah dari ingatan akan akhirat. Ketika waktunya ingat akan akhirat, ia bisa menunaikan hak-hak Rabbnya dan mengatur perkara agamanya. Saat waktunya lemah, ia mengurusi bagian dari kehidupan dunianya ini. Dan tidaklah seseorang dianggap munafik bila demikian keadaannya, karena masing-masingnya merupakan rahmah atas para hamba. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Shifatul Qiyamah war Raqa`iq wal Wara’, bab ke 59, Syarhu Sunan Ibni Majah, 2/560)



Al-Imam As-Sindi rahimahullahu menjelaskan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (لَوْ تَدُوْمُوْنَ عَلَى مَا تَكُوْنُوْنَ) : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan mereka bahwa biasanya hati itu tidak selamanya dapat dihadirkan untuk selalu ingat akhirat. Namun hal itu tidaklah memudharatkan bagi keberadaan iman di dalam hati, karena kelalaian/saat hati itu lupa tidaklah melazimkan (mengharuskan) hilangnya keimanan.” (Syarhu Sunan Ibni Majah, 2/559-560)

Demikianlah ajaran yang diberikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya, kepada para suami dan tentunya juga untuk para istri. Kesibukan dalam rumah tangga, bersenda gurau dengan suami dan bermain-main dengan anak-anak hingga kadang membuat lupa dan lalai, bukanlah suatu dosa yang dapat menghilangkan keimanan dalam hati.



Ada saatnya memang manusia itu lupa dan lalai karena memang demikian tabiat mereka yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan. Yang dicela hanyalah bila ia terus tenggelam dalam kelalaian, ridha terlena dengan keadaan yang demikian, dan memang enggan untuk bangkit memperbaiki diri. Pikirannya hanya dunia dan dunia, tanpa mengingat akhirat. Namun bila terkadang lupa kemudian ingat, ia bersemangat kembali. Demikianlah sifat manusia, manusia bukanlah malaikat yang mereka memang diciptakan semata untuk taat dan selalu beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, selalu mengerjakan dengan sempurna apa yang diperintahkan, tanpa lalai sedikitpun.



وَمَنْ عِنْدَهُ لاَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلاَ يَسْتَحْسِرُوْنَ. يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لاَ يَفْتُرُوْنَ

“Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk beribadah kepada-Nya dan tidak pula mereka merasa letih. Mereka selalu bertasbih kepada Allah siang dan malam tiada hentinya-hentinya.” (Al-Anbiya`: 19-20)



Para malaikat itu tidak pernah lelah, tidak pernah bosan dan jenuh karena kuatnya raghbah (harapan) mereka (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala), sempurnanya mahabbah (cinta) mereka, dan kuatnya tubuh mereka. Mereka tenggelam dalam ibadah dan bertasbih di seluruh waktu mereka. Sehingga tidak ada waktu mereka yang terbuang sia-sia dan tidak ada waktu mereka yang luput dari ketaatan. Tujuan mereka selalu lurus, sebagaimana lurusnya amalan mereka. Dan mereka diberi kemampuan untuk melakukan semua itu, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لاَ يَعْصُوْنَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ

“Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6) [Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir hal. 862, Taisir Al-Karimir Rahman hal. 520-521]



Itulah sifat-sifat malaikat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia. Dan manusia, sekali lagi bukanlah malaikat. Pada diri manusia ada kelalaian dan sifat lupa. Kadang semangat dalam menjalankan ketaatan, kadang pula futur (lemah semangat). Kadang hatinya tersibukkan mengingat kematian dan kampung akhirat, kadang pula ia sibuk mengurus dunianya. Begitulah sifat manusia, ada saatnya begini, ada saatnya begitu. Dan orang yang demikian keadaannya tidaklah bisa dicap munafik, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak cap seperti itu ketika diucapkan oleh Hanzhalah radhiallahu ‘anhu.

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com